Saya merasa terhormat sekaligus gugup ketika diminta mendampingi Pak Menteri dalam kunjungannya ke Papua Selatan. Papua adalah destinasi perdana beliau sejak dilantik. Lebih dari sekadar kunjungan, ini adalah bentuk komitmen beliau terhadap arahan Presiden Prabowo untuk membangun Papua, meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan memperkuat ketahanan pangan di wilayah tersebut.
Kami berangkat dari Jakarta pada Jumat malam. Pukul 22.40, pesawat kami mengudara. Transit di Jayapura, kami melanjutkan perjalanan ke Merauke dan tiba sedikit lewat pukul delapan pagi. Tanpa berlama-lama, rombongan langsung bergerak menuju kawasan transmigrasi Salor. Pak Menteri, dengan gaya khasnya, memilih menyetir sendiri Fortuner hitam yang disediakan. Sementara itu, saya bersama beberapa staf naik Innova yang dikemudikan oleh seorang sopir—menariknya, ia adalah anak dari transmigran generasi kedua. Perjalanan ini mulai membuka mata saya akan bagaimana transmigrasi telah membentuk Merauke menjadi pusat yang berkembang pesat hingga kini menjadi ibu kota Papua Selatan.
***
Di tengah perjalanan, Pak Menteri tiba-tiba berhenti. Tanpa aba-aba, beliau keluar dari mobil dan berjalan menuju kompleks perumahan di sisi kiri jalan. Beberapa anak Papua yang sedang bermain bola berhenti sejenak, memandangi beliau dengan penuh rasa ingin tahu. Pak Menteri melangkah masuk ke pekarangan sebuah rumah, berbincang dengan warga lokal sambil mengamati pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Pemandangan ini sangat membumi—sederhana, tanpa protokol berlebihan. Beliau sepertinya ingin memastikan, dengan mata kepala sendiri, bagaimana kondisi warga transmigrasi dan penduduk asli di sana.
Ketika tiba di Desa Telaga Sari, hamparan sawah luas menyambut kami. Desa ini adalah salah satu lokasi food estate, program yang bertujuan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Saat itu sedang musim panen. Tanpa ragu, Pak Menteri menaiki mesin pemanen padi, berinteraksi langsung dengan operator lokal. Protokol sempat menawarkan mobil untuk berpindah ke titik berikutnya, tetapi beliau menolak. Dengan langkah santai, beliau memilih berjalan menyusuri pinggiran sawah, berbaur dengan warga yang sedang bekerja.
Di bawah tenda besar, ratusan warga sudah menunggu. Dialog pun dimulai. Warga berbicara dengan lugas, menyampaikan aspirasi mereka. Tidak ada formalitas yang berlebihan. Bahkan, Pak Menteri sebelumnya telah melarang penyambutan seperti pengalungan bunga atau pemasangan baliho besar bergambar dirinya. “Terlalu berlebihan,” katanya. Pendekatan ini menciptakan suasana dialog yang hangat dan penuh kepercayaan.
Momen spesial terjadi ketika Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Pak AHY, melakukan video call. Warga bersorak, merasa diperhatikan langsung oleh pejabat tinggi di Jakarta. Setelah itu, kami makan siang bersama—hidangan lokal yang sederhana namun penuh kehangatan.
***
Perjalanan dilanjutkan ke SP 1 Salor untuk menunaikan salat Dzuhur di sebuah masjid hijau. Sementara kami yang Muslim salat berjamaah, rombongan lain menunggu di luar, beristirahat. Setelahnya, kami menuju Musamus, daerah wisata unik dengan formasi sarang rayap yang menyerupai kastil kecil dari tanah. Sayangnya, lokasi ini tampak terbengkalai. Pak Menteri mendengar langsung laporan warga, mengevaluasi apa yang bisa dilakukan untuk menghidupkan kembali potensi wisata ini.
Rombongan kami juga mengunjungi rumah salah satu warga transmigran. Di sana, Pak Menteri kembali berdialog, memetik buah mangga dari pohon di halaman belakang, lalu bersikeras membayar buah tersebut meskipun sang pemilik awalnya menolak. Gaya beliau yang egaliter dan rendah hati selalu memikat, bukan hanya bagi kami yang mendampingi, tetapi juga warga setempat. Sebelum meninggalkan lokasi, beliau menyerahkan kaos hitam titipan dari Pak Menko AHY kepada anak-anak transmigran, sambil memotivasi mereka untuk terus bermimpi besar.
***
Di penghujung hari, kami tiba di Kampung Ivi Mahad. Pak Menteri masuk ke balai desa sederhana, di mana warga setempat telah menunggu. Di sini, beliau menolak kursi dan meja khusus yang disediakan, memilih duduk lesehan bersama warga. Beliau menyampaikan kebijakan transmigrasi lokal untuk Papua dan berjanji meningkatkan kesejahteraan penduduk asli. Dalam 25 tahun, belum pernah ada pejabat setingkat menteri yang datang ke tempat ini. Warga tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyampaikan keluh kesah mereka. Pak Menteri mendengarkan dengan sabar, mencatat dengan cermat. Saya melihat harapan baru di mata mereka.
Sebelum malam tiba, kami kembali ke Merauke. Awalnya, Pak Menteri ingin bermalam di tenda di kawasan transmigrasi, namun mengingat agenda esok pagi, beliau akhirnya memutuskan menginap di kota. Perjalanan panjang ini berakhir dengan makan malam sederhana sebelum kami menuju penginapan.
***
Perjalanan ke Papua ini bukan sekadar kunjungan kerja, melainkan pengalaman yang memperkaya perspektif saya. Saya menyaksikan langsung bagaimana seorang pemimpin sejati, dengan kesederhanaan dan ketulusan, mampu menjembatani harapan rakyat dan kebijakan negara. Papua Selatan mengajarkan saya bahwa pembangunan bukan hanya soal angka di atas kertas, tetapi menyentuh hati dan mendengarkan suara mereka yang paling membutuhkan.