Pagi itu, Minggu, 26 Desember 2004, adalah pagi yang tak pernah dilupakan oleh M. Iftitah Sulaiman, seorang perwira muda yang sedang bertugas di Aceh. Waktu baru menunjukkan pukul 07:58 WIB ketika bumi mulai berguncang hebat. Beliau tengah berlari pagi bersama pasukan Yonkav 8 di bawah langit Aceh yang cerah, tetapi tiba-tiba semuanya terasa oleng. Awalnya, ia mengira tubuhnya kekurangan darah. Namun, saat duduk untuk beristirahat, kenyataan yang jauh lebih besar mulai terlihat: tembok-tembok retak, kaca-kaca pecah, dan bahkan panser seberat 5,2 ton bergerak sendiri meski roda terkunci.
Gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter itu hanya menjadi awal dari apa yang akan menjadi salah satu bencana terbesar dalam sejarah kemanusiaan. Di tengah kekacauan itu, komunikasi telepon lumpuh, tetapi sebagai seorang *Perwira Seksi Operasi*, Iftitah sigap mengumpulkan prajuritnya melalui radio komunikasi. Ia memimpin apel darurat dengan pakaian olahraga yang masih dikenakannya. Syukur, 300 prajuritnya selamat. Namun, panggilan tugas tak berhenti di situ.
Belum sempat mereka benar-benar memahami dampak gempa, suara panik tiba-tiba terdengar di radio. “Air laut naik, air laut naik!” Teriakan disusul takbir itu membuat suasana di radio berubah menjadi kacau balau. Perintah tegas segera dikeluarkan oleh Iftitah: hindari laut dan cari lokasi aman. Tapi saat itu, ia tahu, tak semua orang punya kesempatan untuk melarikan diri.
Di Krueng Mane, Aceh Utara, air laut menerjang segalanya. Setelah tsunami surut, apa yang tersisa hanyalah kehancuran dan mayat-mayat bergelimpangan. Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, Iftitah dan pasukannya langsung terjun membantu rakyat. Dalam sehari itu, mereka mengevakuasi lebih dari 300 jenazah, mendirikan tenda pengungsian, dapur umum, dan posko kesehatan. Semua dilakukan dengan alat seadanya, penuh keikhlasan, dan tanpa henti hingga malam tiba.
Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiba di lokasi keesokan harinya, beliau menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional. Namun bagi Iftitah, tugasnya tidak hanya berhenti di situ. Ia mengingat dengan jelas pelajaran yang ia dapatkan dari SBY—mentornya yang ia hormati—bahwa kemanusiaan adalah kunci dalam membangun kepercayaan dan menyelesaikan konflik.
Sebelum ditugaskan ke Aceh, Iftitah bahkan sudah mengambil langkah kecil dengan melakukan *fundraising* bersama pabrik-pabrik di Pasuruan, tempat ia bertugas. Ia dan pasukannya mengumpulkan makanan kaleng, pakaian, dan sembako. “Kita datang bukan untuk menakut-nakuti rakyat Aceh, tetapi untuk menjadi bagian dari mereka,” itu pesan yang selalu ia tanamkan pada pasukannya. Langkah ini, yang awalnya sederhana, menjadi penyelamat di saat tsunami melanda. Pasukannya menjadi salah satu yang tercepat memberikan bantuan kemanusiaan, menunjukkan bahwa niat baik dan persiapan kecil bisa berdampak besar.
Lebih dari sekadar memimpin operasi bantuan, pengalaman ini membentuk prinsip hidup Iftitah. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana nilai kemanusiaan dapat mengubah cara masyarakat memandang konflik. Setelah tragedi ini, dialog antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai, yang akhirnya membuahkan Perjanjian Helsinki pada tahun 2005—mengakhiri konflik panjang di Aceh.
Kisah M. Iftitah Sulaiman bukan sekadar kisah seorang prajurit atau pemimpin. Ini adalah cerita tentang bagaimana bencana yang memilukan dapat menjadi awal dari rekonsiliasi dan perdamaian. Itu adalah pelajaran tentang keberanian, empati, dan kemanusiaan—nilai-nilai yang kini ia bawa dalam perannya sebagai Menteri Transmigrasi. Setiap langkah yang ia ambil hari ini berakar pada pengalaman itu, pada hari ketika bumi berguncang dan air laut menyapu segalanya, tetapi ia memilih untuk tetap berdiri dan membantu mereka yang membutuhkan.
Dari Aceh, ia belajar bahwa kepemimpinan sejati dimulai dari hati. Dan kini, ia berusaha menerapkan pelajaran yang sama di kementeriannya: melayani manusia dengan kemanusiaan.