Di tengah pertumbuhan ekonomi global dan kemajuan teknologi, ketimpangan kekayaan justru mencapai level tertinggi dalam sejarah. Laporan Oxfam (2024) menyebut 1% orang terkaya kini menguasai 43% total kekayaan dunia, sementara 5 miliar orang termiskin hanya mendapat remah-remahnya. Artikel ini mengupas data historis, penyebab, dan dampak fenomena ini, serta solusi yang mungkin dilakukan.
Tren Historis Akumulasi Kekayaan (1980–2023)
1980–1990: Awal Neoliberalisme
– Kebijakan Reagan (AS) dan Thatcher (Inggris) memangkas pajak korporasi dan melemahkan serikat buruh
– 1% terkaya AS meningkatkan porsi kekayaan dari 22% (1980) menjadi 33% (1990).
– Globalisasi mulai menguntungkan pemilik modal, bukan pekerja (World Inequality Database).
2000–2010: Krisis 2008 & Pemulihan yang Timpang
– Pasca-krisis finansial, 1% terkaya AS kembali pulih dalam 3 tahun, sementara 90% populasi kehilangan kekayaan (Saez & Zucman, 2016).
– Jumlah miliuner global meledak dari 499 (2000) menjadi 1.011 (2010) (Forbes).
2020–2023: Pandemi & Ledakan Kekayaan Elite
– $26 triliun: Tambahan kekayaan miliuner global selama pandemi, setara dengan 2x PDB Jerman (Forbes, 2023).
– 63% kekayaan baru hasil pertumbuhan ekonomi 2020–2023 dikuasai 1% terkaya (Oxfam, 2023).
Faktor Pendorong Konsentrasi Kekayaan
1. Teknologi & Skala Ekonomi Digital
Perusahaan seperti Amazon, Google, dan Tesla menciptakan miliuner dalam hitungan tahun. Pendiri Big Tech menguasai $1,1 triliun kekayaan pada 2023 (Forbes), sementara upah pekerja teknologi hanya naik 0,2% per tahun (ILO).
2. Sistem Pajak yang Bobrok
– 8,2%: Tarif pajak efektif 400 keluarga terkaya AS, lebih rendah dari rata-rata pekerja (White House, 2021).
– $163 miliar/tahun: Nilai penghindaran pajak oleh superkaya lewat offshore accounts (Tax Justice Network, 2023).
3. Kebijakan Pro-Korporasi
Deregulasi pasar keuangan dan privatisasi BUMN memindahkan aset publik ke oligarki swasta.
Dampak Sosial & Ekonomi
– Kemiskinan Sistemik: 160 juta orang jatuh miskin selama pandemi, sementara miliuner bertambah 573 orang (Bank Dunia, 2022).
– Krisis Demokrasi: Kekuatan lobi korporasi mengikis kebijakan pro-rakyat. Contoh: hanya 4% pajak Google yang dibayar di negara berkembang (Oxfam).
– Kesenjangan Generasi: Anak muda kesulitan memiliki properti atau modal, sementara elite mewarisi kekayaan lintas generasi.
Solusi yang Bisa Ditempuh
1. Pajak Progresif
– Pajak kekayaan (>$50 juta) dan transaksi finansial spekulatif.
– Tutup celah offshore dan tax haven.
2. Perlindungan Buruh & UMKM
– Upah minimum yang hidup (living wage).
– Subsidi untuk usaha mikro berbasis komunitas.
3. Regulasi Monopoli Teknologi
– Pecah perusahaan Big Tech yang mendominasi pasar.
– Alokasi laba korporasi untuk pelatihan pekerja yang terdampak otomatisasi.
Kesimpulan: Saatnya Mengubah Sistem, Bukan Menyalahkan Individu
Data menunjukkan bahwa akumulasi kekayaan ekstrem adalah hasil sistem ekonomi yang timpang, bukan sekadar “usaha keras”. Tanpa reformasi struktural, ketimpangan akan terus meracuni demokrasi dan menghancurkan kohesi sosial. Seperti kata ekonom Thomas Piketty:
> “Ketika tingkat return modal (r) lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi (g), ketimpangan akan melebar secara abadi.”
—
Catatan Metodologi
Data dalam artikel ini diambil dari:
– Laporan Oxfam (2023–2024)
– World Inequality Database (WID)
– Forbes Billionaires List
– Bank Dunia & OECD
Untuk verifikasi, kunjungi tautan primer:
– [World Inequality Report 2022](https://wir2022.wid.world)
– [Oxfam Inequality Reports](https://www.oxfam.org/en/research)