Dalam hidup, kita tak mungkin berjalan sendirian. Kita bekerja dalam tim, bersinergi dalam organisasi, dan bergerak dalam sistem. Di situlah seni membagi peran menjadi penting—karena sejatinya, tak semua hal harus kita kerjakan sendiri.

Tugas bisa kita bagi.
Wewenang pun bisa kita delegasikan.
Tapi ada satu hal yang tetap tak bisa kita lepaskan, bahkan jika kita ingin: tanggung jawab.


Tanggung jawab itu seperti bayangan yang terus mengikuti kita. Ia tak bisa dititipkan. Tak bisa dipindahkan. Tak bisa pula dibagi rata seperti lembar laporan kerja.

Sebagai pemimpin—dalam skala apa pun, entah sebagai kepala keluarga, pemimpin tim, atau pejabat publik—kita boleh berbagi kerja, bahkan harus. Kita boleh mendelegasikan keputusan, agar yang lain tumbuh dan berdaya. Tapi ketika semua sudah dikerjakan, dan hasilnya datang entah dalam bentuk pujian atau kritik, tetap ada satu titik akhir yang menjadi tempat semua kembali: diri kita sendiri.

Itulah hakikat tanggung jawab. Ia bukan beban, tapi kehormatan. Bukan hanya soal menjawab pertanyaan dari atasan atau publik, tapi menjawab suara nurani sendiri.


Saya belajar satu hal:
Tanggung jawab tak selalu soal benar atau salah, sukses atau gagal. Tapi tentang apakah kita sungguh hadir, bersungguh-sungguh, dan tidak lari dari akibat keputusan kita.

Seringkali, orang menyangka pemimpin itu harus tahu segalanya, bisa segalanya, dan tidak boleh salah. Padahal, pemimpin juga manusia. Yang membedakannya bukan karena ia tak pernah jatuh, tapi karena ia berdiri paling dulu saat semua orang terdiam.

Dan di situlah nilai dari kepemimpinan. Bukan pada gelar, bukan pada posisi, tapi pada kesediaan memikul hal yang tak bisa dibagikan: tanggung jawab.


Kalau hari ini kita diberi kepercayaan, maka bukan hanya jabatan yang kita terima. Kita juga menerima satu hal yang lebih berat dari itu semua—yang tak bisa dituliskan di surat tugas atau ditandatangani di atas kertas: kepercayaan untuk bertanggung jawab.

Mari kita jaga kepercayaan itu. Dengan ketulusan. Dengan kerja nyata. Dan dengan keberanian untuk berkata, “Jika ada yang perlu dipertanggungjawabkan, saya tidak akan lari. Saya ada di sini.”

Karena pada akhirnya, dalam sunyi yang paling jujur, kita tak ditanya seberapa besar kuasa yang kita genggam. Tapi seberapa besar keberanian kita untuk memikul akibatnya.

Share This Story, Choose Your Platform!