Di dunia yang makin tak menentu, satu pengumuman bisa mengubah segalanya. Dan pada April 2025, pengumuman itu datang dari Gedung Putih. Presiden Trump resmi menaikkan tarif impor dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya—sebuah langkah yang segera mengguncang pasar global.
Pasar saham ambruk. Ketegangan dagang meningkat. Dan di balik layar, jutaan investor dari Wall Street hingga Jakarta menghadapi dilema klasik: ke mana mereka harus menyelamatkan uangnya?
Selama ribuan tahun, emas adalah jawabannya. Tapi zaman telah berubah. Di era digital ini, muncul pesaing yang tidak bisa disentuh tapi bisa mengubah segalanya: Bitcoin.
Dua aset ini melonjak saat dunia panik. Tapi hanya satu yang akan keluar sebagai simbol ketahanan, kepercayaan, dan masa depan. Apakah logam abadi masih memegang tahtanya? Atau justru kode digital yang akan memimpin?
I. Pendahuluan: Perang Tarif Trump dan Pergolakan Pasar Global
Pada 2 April 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif besar-besaran yang dikenal sebagai “Liberation Day Tariffs”. Kebijakan ini mencakup tarif dasar sebesar 10% untuk semua negara, dengan tarif tambahan yang lebih tinggi untuk negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS.
Sebagai contoh, tarif terhadap impor dari Tiongkok dinaikkan menjadi 245%, sementara negara-negara lain seperti Indonesia, Vietnam, dan India menghadapi tarif tambahan antara 25% hingga 49%.
Kebijakan ini segera memicu ketegangan global dan ketidakpastian di pasar keuangan. Indeks S&P 500 mengalami penurunan lebih dari 12% sejak pengumuman tarif tersebut, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap dampak ekonomi dari perang dagang yang semakin intensif.
Di tengah gejolak ini, para investor mencari aset yang dianggap aman (safe haven). Harga emas melonjak ke rekor tertinggi, mencapai $3.500,05 per troy ounce pada 22 April 2025, mencerminkan lonjakan permintaan di tengah ketidakpastian ekonomi. Sementara itu, Bitcoin juga mengalami volatilitas signifikan. Setelah sempat turun tajam menyusul pengumuman tarif, harga Bitcoin kembali naik, mencapai $90.765 pada 22 April 2025.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah Bitcoin dapat menggantikan emas sebagai aset pelindung nilai utama di masa depan?
Artikel ini akan membahas perbandingan antara emas dan Bitcoin, meninjau kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta mengeksplorasi kemungkinan pergeseran peran di antara keduanya dalam lanskap keuangan global yang terus berubah.
II. Emas: Raja Safe Haven Selama Ribuan Tahun
Sebelum manusia mengenal mata uang kertas, bahkan jauh sebelum sistem perbankan modern terbentuk, emas sudah menjadi tolok ukur kekayaan dan alat tukar universal.
Kilauan logam mulia ini tak hanya menarik secara estetika, tapi juga secara psikologis menghadirkan rasa aman. Emas tak pernah berubah wujud, tak bisa dipalsukan dengan mudah, dan tidak bergantung pada kebijakan politik suatu negara. Karakteristik inilah yang membuat emas menjadi aset safe haven paling kuat selama ribuan tahun.
Warisan Sejarah yang Tak Tertandingi
Sejarah mencatat, sejak peradaban Mesir Kuno, Yunani, Romawi, hingga kerajaan-kerajaan di Asia dan Eropa, emas selalu menjadi simbol kekuasaan dan alat tukar perdagangan lintas wilayah.
Kekaisaran Romawi menggunakan koin emas sebagai mata uang utama, begitu pula dengan Kesultanan Utsmaniyah, Dinasti Cina, hingga kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Nilai emas bukan hanya karena kelangkaannya, tetapi juga karena konsensus global bahwa emas memiliki nilai intrinsik. Ia tidak bisa dicetak seperti uang kertas, tidak bisa dikompromikan oleh inflasi tinggi, dan hampir selalu mengalami kenaikan nilai dalam jangka panjang. Di masa perang, krisis politik, atau hiperinflasi, masyarakat berbondong-bondong menyimpan emas — baik dalam bentuk batangan, perhiasan, maupun koin.
Emas dalam Dunia Modern
Hingga saat ini, emas masih menjadi salah satu cadangan devisa utama bagi bank sentral di berbagai negara. Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, masih menyimpan cadangan emas dalam jumlah besar. Ketika nilai dolar goyah atau inflasi melonjak, bank sentral dan investor global cenderung meningkatkan kepemilikan emas sebagai bentuk perlindungan aset.
Emas juga sangat likuid: bisa ditukar dengan uang tunai hampir di seluruh belahan dunia dalam waktu singkat. Pasarnya luas dan stabil, dengan harga yang ditentukan secara global di bursa emas seperti London Bullion Market dan COMEX. Ini membuat emas ideal untuk investor yang menghindari risiko tinggi.
Bahkan di tingkat rumah tangga, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India, emas adalah “tabungan” paling dipercaya. Emas dalam bentuk perhiasan sering kali menjadi simpanan keluarga yang diwariskan lintas generasi, dan dijual saat ada kebutuhan mendesak seperti biaya sekolah atau pernikahan.
Sifat Fisik dan Psikologis yang Kuat
Tidak seperti saham yang bisa jatuh hingga nol, atau uang kertas yang bisa kehilangan nilai karena inflasi, emas secara fisik tetap utuh dan dihargai. Ketika krisis keuangan 2008 melanda, harga emas melonjak dari sekitar USD 700 per ons menjadi lebih dari USD 1.800 hanya dalam waktu tiga tahun. Ini membuktikan bahwa emas masih menjadi tujuan utama investor saat pasar dilanda ketakutan.
Dengan kata lain, emas bukan hanya aset — ia adalah simbol kepercayaan. Selama ribuan tahun, emas tidak pernah mengecewakan. Itulah sebabnya, dalam pertarungan safe haven hari ini, Bitcoin harus melawan bukan hanya logam, tetapi juga sejarah panjang dan kepercayaan kolektif yang telah terbentuk selama milenia.
III. Bitcoin: Pendatang Baru yang Menantang Takhta
Jika emas adalah lambang kejayaan masa lalu, maka Bitcoin adalah simbol pemberontakan terhadap sistem keuangan lama. Lahir dari abu krisis keuangan global 2008, Bitcoin hadir bukan sekadar sebagai teknologi baru, tetapi sebagai bentuk perlawanan terhadap ketergantungan pada bank sentral dan pemerintah.
Lahirnya Aset Revolusioner
Pada tahun 2009, seseorang (atau sekelompok orang) dengan nama samaran Satoshi Nakamoto memperkenalkan Bitcoin melalui sebuah white paper berjudul “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System”. Ide utamanya sederhana tapi radikal: menciptakan mata uang digital yang tidak dikendalikan oleh otoritas mana pun, tidak bisa dimanipulasi, dan bisa dipertukarkan langsung antar individu melalui jaringan internet — tanpa perantara.
Bitcoin berbasis teknologi blockchain, buku besar digital yang tidak bisa diubah atau dipalsukan. Transaksi tercatat secara transparan, dan seluruh sistem dijalankan oleh jaringan global pengguna, bukan oleh satu entitas pusat.
Yang membuatnya unik adalah jumlah maksimal Bitcoin yang bisa beredar dibatasi hanya 21 juta unit. Tidak bisa dicetak sembarangan seperti uang kertas, dan semakin sulit untuk “ditambang” seiring waktu. Dalam hal ini, Bitcoin meniru sifat kelangkaan emas — dan karenanya dijuluki “emas digital.”
Pertumbuhan Eksponensial yang Mengguncang Dunia
Meski awalnya diremehkan, Bitcoin dengan cepat menarik perhatian dunia. Pada 2010, 10.000 Bitcoin hanya cukup untuk membeli dua pizza. Namun pada puncak harga di tahun 2021, satu Bitcoin sempat melampaui USD 60.000. Lonjakan ini menciptakan jutawan baru, menarik investor ritel hingga institusional, dan membuat media keuangan global tak bisa lagi mengabaikannya.
Investor besar seperti Tesla, MicroStrategy, hingga dana investasi seperti ARK Invest mulai memasukkan Bitcoin ke dalam portofolio mereka. Bahkan bank besar seperti JPMorgan yang dulu skeptis, kini mengakui bahwa Bitcoin punya potensi sebagai aset pelindung nilai di masa depan.
Aset yang Muda dan Berani, tapi Belum Stabil
Namun, meskipun menggiurkan, Bitcoin bukan tanpa kelemahan. Volatilitas ekstrem menjadi momok utama. Dalam satu bulan, nilainya bisa melonjak 40% dan turun 30% dalam sekejap. Ini membuat banyak investor konservatif — terutama institusi — masih ragu menganggapnya sebagai safe haven sejati.
Selain itu, regulasi yang belum seragam di berbagai negara juga menciptakan ketidakpastian. Beberapa negara seperti El Salvador menjadikan Bitcoin sebagai alat pembayaran sah, sementara negara lain seperti Tiongkok melarang aktivitas mining dan perdagangan kripto. Di sinilah Bitcoin masih tertinggal dari emas, yang diterima dan diperdagangkan secara global tanpa banyak hambatan hukum.
Simbol Masa Depan Digital
Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa Bitcoin telah memulai sebuah revolusi. Ia memunculkan cara baru memandang uang, kepercayaan, dan kekayaan. Generasi muda yang lahir di era digital melihat Bitcoin bukan hanya sebagai alat spekulasi, tetapi sebagai bagian dari identitas zaman mereka — seperti internet, media sosial, dan kebebasan individu.
Dengan keunggulan teknologi, transparansi, dan desentralisasi, Bitcoin mulai menggoyang dominasi emas. Ia belum sepenuhnya merebut takhta, tetapi langkahnya semakin mantap.
IV. Kenapa Saat Ini Emas Masih Unggul
Di tengah euforia teknologi dan semangat era digital, banyak yang tergoda menyebut Bitcoin sebagai penerus takhta emas. Namun, ketika dunia benar-benar diuji oleh krisis nyata — seperti perang dagang, pandemi global, atau ketegangan geopolitik — mayoritas investor tetap kembali kepada emas. Mengapa demikian?
1. Stabilitas yang Teruji Waktu
Volatilitas adalah musuh utama dalam situasi krisis. Bitcoin, meskipun potensial, terkenal dengan ayunan harganya yang ekstrem. Dalam satu minggu, nilainya bisa melonjak atau terjun bebas lebih dari 20%. Sementara itu, harga emas cenderung bergerak lebih stabil, dengan fluktuasi yang jauh lebih moderat.
Bagi investor besar dan lembaga keuangan seperti bank sentral, kestabilan sangat penting. Mereka tidak bisa menaruh cadangan devisa dalam aset yang bisa kehilangan seperempat nilainya dalam semalam. Emas, karena itu, masih menjadi pilihan yang lebih rasional dan aman.
2. Penerimaan Global dan Likuiditas Tinggi
Emas diterima di seluruh dunia. Ia bisa dijual di hampir semua negara tanpa syarat yang rumit, bahkan dalam bentuk fisik sekalipun. Pasar emas sangat dalam dan likuid — artinya, transaksi dalam jumlah besar bisa dilakukan tanpa mengguncang harga secara signifikan.
Sementara itu, Bitcoin masih menghadapi tantangan dalam hal regulasi dan aksesibilitas. Tidak semua negara mengizinkan perdagangan kripto. Infrastruktur teknologinya belum sepenuhnya matang, dan adopsi publik belum merata, khususnya di negara berkembang.
3. Ketergantungan Teknologi dan Infrastruktur
Untuk menggunakan atau mengakses Bitcoin, seseorang butuh koneksi internet, platform exchange, dan perangkat digital. Dalam situasi darurat, seperti perang, pemadaman internet massal, atau krisis energi, akses terhadap Bitcoin bisa terganggu.
Sementara emas bisa digenggam, disimpan secara fisik, dan dipertukarkan langsung tanpa perantara teknologi. Keunggulan ini membuatnya lebih “survivable” dalam skenario terburuk.
4. Perlindungan Hukum dan Tradisi
Banyak negara memiliki aturan yang jelas tentang kepemilikan dan perdagangan emas. Bahkan, di beberapa negara, investasi dalam bentuk emas fisik mendapat insentif pajak. Selain itu, emas telah menjadi bagian dari budaya finansial manusia selama ribuan tahun — ada unsur kepercayaan sosial yang sangat kuat terhadap logam mulia ini.
Bitcoin, meskipun menjanjikan, masih muda dan sarat kontroversi. Peretasan bursa, penipuan kripto, serta fluktuasi nilai yang liar membuat sebagian masyarakat enggan menjadikannya sebagai aset utama.
Bitcoin memang sedang naik daun dan memiliki potensi luar biasa. Namun, dalam lanskap global yang penuh ketidakpastian dan kebutuhan akan stabilitas, emas tetap unggul — bukan hanya karena nilai fisiknya, tetapi karena kepercayaan kolektif yang telah terbentuk selama berabad-abad.
Bitcoin belum bisa menandingi kestabilan, penerimaan global, dan kepercayaan multigenerasi yang dimiliki emas. Tetapi bukan berarti ia tidak akan pernah mampu.
V. Skenario Bitcoin Bisa Mengalahkan Emas
Meskipun saat ini emas masih memimpin sebagai aset pelindung nilai utama dunia, Bitcoin bukan tanpa peluang untuk menggusur takhta tersebut. Dengan tren digitalisasi global, krisis kepercayaan terhadap mata uang fiat, serta pergeseran perilaku generasi muda, sejumlah skenario muncul di mana Bitcoin bukan hanya setara, tetapi bahkan lebih unggul dari emas.
Berikut ini adalah lima skenario yang dapat membuka jalan bagi Bitcoin untuk mengalahkan emas.
1. Adopsi Institusi dan Negara
Ketika perusahaan besar dan negara mulai memegang Bitcoin sebagai cadangan aset strategis, kepercayaan terhadapnya meningkat drastis. El Salvador telah memelopori langkah ini dengan menjadikan Bitcoin sebagai alat pembayaran sah dan menyimpannya dalam cadangan nasional.
Jika langkah ini diikuti oleh negara-negara lain — terutama negara berkembang yang ingin lepas dari dominasi dolar AS — Bitcoin bisa mendapatkan status resmi yang sebelumnya hanya dimiliki oleh emas. Ketika negara mulai menyimpan Bitcoin dalam cadangan devisa seperti menyimpan emas, maka perubahan besar dalam tatanan keuangan global bisa terjadi.
2. Penurunan Volatilitas Seiring Kapitalisasi Pasar yang Meningkat
Salah satu kelemahan utama Bitcoin adalah volatilitasnya. Namun, seiring dengan bertambahnya kapitalisasi pasar — terutama jika menembus USD 10 triliun atau lebih — harga Bitcoin akan menjadi lebih stabil. Pasar yang lebih dalam dan didominasi oleh investor institusional cenderung bergerak lebih rasional, mengurangi fluktuasi liar.
ETF spot Bitcoin yang disetujui di Amerika Serikat dan negara lain juga membantu menstabilkan pasar. Semakin banyak instrumen keuangan berbasis Bitcoin, semakin besar kemungkinan ia diterima sebagai aset utama, layaknya emas.
3. Dominasi Generasi Milenial dan
Gen Z dalam Dunia Investasi
Generasi muda lebih melek digital dan punya pemahaman berbeda tentang nilai aset. Mereka tidak punya ikatan emosional terhadap emas seperti generasi sebelumnya. Sebaliknya, mereka tumbuh bersama internet, smartphone, dan kini, kripto.
Saat kekayaan global mulai berpindah ke tangan mereka — melalui warisan, kewirausahaan digital, dan dominasi dalam industri kreatif — selera investasi pun akan berubah. Jika generasi ini lebih nyaman dengan Bitcoin dibanding emas, maka perubahan besar dalam lanskap investasi jangka panjang bisa terjadi.
4. Krisis Global dan Kehilangan Kepercayaan pada Uang Fiat
Skenario paling ekstrem — tetapi juga paling kuat — adalah krisis kepercayaan terhadap sistem fiat. Jika negara-negara besar mencetak uang secara berlebihan, menumpuk utang, atau gagal mengelola inflasi, masyarakat akan mencari pelindung nilai alternatif.
Bitcoin, dengan jumlah yang terbatas (21 juta unit), tidak bisa dicetak ulang, dan tidak dikendalikan oleh pemerintah mana pun, menjadi sangat menarik dalam konteks ini. Apalagi jika sistem perbankan global mengalami krisis besar seperti 2008 — atau lebih buruk.
5. Kemajuan Infrastruktur dan Akses yang Merata
Untuk benar-benar bersaing dengan emas, Bitcoin harus bisa diakses dan digunakan semudah mungkin oleh siapa saja, bahkan di pelosok dunia. Kemajuan seperti Lightning Network, wallet yang lebih ramah pengguna, dan edukasi digital yang merata akan memperkuat posisi Bitcoin sebagai alat simpan nilai sekaligus alat tukar.
Bayangkan skenario di mana petani di pedalaman bisa menabung hasil panennya dalam bentuk Bitcoin lewat aplikasi sederhana di ponsel. Bila itu terjadi secara luas, maka Bitcoin benar-benar telah menjadi emas digital sejati — tak tergantung lokasi, bank, atau birokrasi.
Intinya:
Bitcoin memang masih muda dan penuh tantangan. Tapi ia punya momentum sejarah, dukungan teknologi, dan semangat zaman yang tak dimiliki oleh emas. Jika tren-tren di atas terjadi bersamaan dalam dekade ini atau berikutnya, bukan tidak mungkin Bitcoin akan mengambil alih posisi emas — bukan hanya sebagai safe haven, tetapi sebagai simbol kepercayaan ekonomi global yang baru.
VI. Prediksi dan Timeline — Akankah Takhta Berpindah?
Setelah membandingkan kekuatan historis emas dan potensi masa depan Bitcoin, muncul pertanyaan besar: kapan — jika memang bisa — Bitcoin akan menggantikan emas sebagai aset pelindung nilai utama dunia? Jawabannya tidak sesederhana hitungan waktu. Ia tergantung pada kombinasi faktor: teknologi, geopolitik, psikologi pasar, dan evolusi generasi.
Namun untuk memberi gambaran, mari kita petakan tiga fase waktu yang realistis: jangka pendek (0–5 tahun), jangka menengah (5–10 tahun), dan jangka panjang (10–20 tahun).
1. Jangka Pendek (0–5 Tahun ke Depan): Emas Masih Tangguh
Dalam lima tahun ke depan, emas hampir pasti tetap memimpin. Alasannya jelas: volatilitas Bitcoin masih tinggi, regulasi belum stabil, dan infrastruktur belum sepenuhnya inklusif.
Meskipun Bitcoin sudah memiliki ETF di AS, dan institusi keuangan mulai masuk, pasar belum sepenuhnya matang. Di sisi lain, emas tetap menjadi pilihan bank sentral, investor konservatif, dan masyarakat luas di negara-negara berkembang. Dalam situasi ketegangan global seperti perang atau krisis ekonomi, logam mulia ini tetap jadi pelabuhan utama.
Namun, ini juga masa penting bagi Bitcoin untuk membuktikan dirinya. Jika volatilitas mulai menurun, dan kebijakan negara-negara besar mulai mendukung regulasi kripto yang adil dan terbuka, maka kepercayaan akan tumbuh secara bertahap.
2. Jangka Menengah (5–10 Tahun ke Depan): Titik Kritis
Inilah fase yang bisa menjadi titik balik. Generasi milenial dan Gen Z mulai mengambil alih posisi sebagai pengambil keputusan ekonomi utama — baik dalam investasi ritel maupun manajemen aset di institusi besar. Mereka lebih akrab dengan Bitcoin dibanding emas.
Di fase ini juga, kita bisa melihat negara-negara yang sedang mencari alternatif untuk dolar AS mulai memasukkan Bitcoin dalam keranjang cadangan mereka, terutama jika ada krisis geopolitik atau finansial global.
Jika kapitalisasi pasar Bitcoin bisa menembus angka USD 10–15 triliun, volatilitas akan menurun, dan posisinya sebagai store of value akan semakin kokoh. Di titik ini, Bitcoin bisa setara — bahkan melebihi — emas dari sisi daya tarik jangka panjang, setidaknya di mata generasi baru dan investor progresif.
3. Jangka Panjang (10–20 Tahun ke Depan): Potensi Pergeseran Takhta
Di rentang waktu inilah Bitcoin berpotensi benar-benar menggantikan emas. Bukan hanya karena keunggulan teknisnya, tetapi karena pergeseran struktur kepercayaan global. Jika masyarakat dunia semakin percaya pada sistem desentralisasi dan digital, maka kepercayaan kolektif terhadap emas — yang didasarkan pada sejarah fisik — bisa beralih ke sistem kripto yang lebih efisien dan tidak bias terhadap negara atau lembaga mana pun.
Skenario ideal: Bitcoin menjadi cadangan devisa negara, alat tukar global lintas batas, dan sarana investasi jangka panjang dengan kestabilan tinggi. Di sini, Bitcoin bukan hanya pesaing emas — ia menjadi simbol dominasi era baru.
Namun, perlu diingat: ini bukan proses linier. Banyak faktor bisa mempercepat atau menghambat transisi ini — seperti krisis sistem keuangan, terobosan teknologi, atau bahkan resistensi politik dan hukum.
Apakah Emas Akan Hilang?
Tidak juga. Emas kemungkinan tetap eksis, tetapi perannya bisa mengecil. Ia akan tetap menjadi bagian dari portofolio konservatif, digunakan dalam industri, perhiasan, dan cadangan tradisional. Tapi perannya sebagai aset utama pelindung nilai bisa berpindah tangan jika Bitcoin benar-benar mencapai stabilitas sistemik dan kepercayaan global yang dibutuhkan.
Dengan kata lain, takhta bisa saja berpindah. Tapi ia tidak akan diberikan — ia harus direbut dengan pembuktian dan kepercayaan. Dan Bitcoin, meski masih muda, sedang melangkah ke arah itu.
Yoyo Budianto, S.Kom., M.M.
Tenaga Ahli Menteri Transmigrasi, Deputi Media Sosial, Bakomstra DPP Partai Demokrat